Jumat malam hilal belum terlihat. 1 Ramadhan ditetapkan jatuh pada tanggal 3 April 2022. Bakda pengumuman itu, kutatap langit malam dari jendela kamarku yang terbuka, dan kenangan-kenangan berkelindan, mengingat banyak catatan perjalanan yang sudah kutorehkan.
Bisa dibilang, sejak lulus SMA, inilah kali pertama aku memulai Ramadhan di kampung halaman bersama keluarga besar. Sejak tahun 2005, aku menjadi seorang perantau, yang masih bersyukur bisa kembali meski hanya saat menjelang libur lebaran. Berpindah dari kota satu ke kota lain. Bandung, Bintaro, Sumbawa Besar, Depok, dan Bogor. Dan ada satu masa yang rasanya begitu berat, karena perasaan sendiri itu mengepungku.
Aku berada di Sumbawa dan setelah kami punya 1 anak, istriku melanjutkan S2 di ITB. Ramadhan tiba dan rasanya diri begitu rapuh tanpa keberadaannya.
Namun, bukan hanya aku yang bernasib demikian. Menjalani hubungan pernikahan jarak jauh itu. 90% pegawai di KPPN Sumbawa juga perantau. Dan sebagian besar juga sendiri. Ada yang belum menikah. Ada juga yang menyandang status jomblo lokal, alias long distance marriage. Situasi seperti itu menyebabkan hubungan kekeluargaan di antara kami sangat erat. Dan bulan puasa semakin mempererat hubungan itu.
Apa itu yang mempererat kami? Adalah melakukan banyak kegiatan bersama-sama. Tapi simbol dari segala itu adalah gorengan. Sebab gorengan ini selalu hadir pada saat buka puasa bersama.
Kepala kantorku sangat baik. Ia membawa istrinya yang juga pegawai KPPN Sumbawa. Pasangan itu selalu menyediakan buka puasa bersama buat kami. Setiap hari selalu ada makanan untuk berbuka di kantor. Dan berbuka bersama rekan pegawai yang lain benar-benar menjadi obat rasa sepi.
Setiap sore sehabis Ashar, setelah pekerjaan kantor selesai, para pegawai laki-laki bermain pingpong. Malamnya, ada tarawih bersama, dan sesi kultumnya digilir, setiap pegawai mendapatkan kesempatan menyampaikan sesuatu. Setelah itu tadarusan dilakukan. Pagi-pagi, karena kami tinggal di komplek rumah dinas, ada yang selalu membangunkan sahur.
Suasana itu sedikit banyak mengobati rasa kangen pada keluarga. Orang tuaku ada di Palembang, sementara istri dan anakku di Bandung. Ponselku masih berupa blackberry dan belum ada fitur video-call yang gampang seperti dari WhatsApp.
Pokoknya dulu itu bingung bagaimana harus menyambung rindu. Apalagi ketika masih duduk di bangku kuliah. Pulsa masih terasa sangat mahal. Untuk menelepon saja, paling hanya seminggu sekali dan tidak pernah lebih dari 5 menit. Beruntung pada masa-masa di Sumbawa itu, sudah ada paket telepon murah. Jadi kalau mau menelpon keluarga, biasanya aku ambil paket nelpon dari Telkomsel itu.
Belum ada internet stabil dan murah seperti sekarang. Beruntungya internet sudah terpasang di kantor waktu itu, jadi kalau mau wifi cepat, tinggal ke halaman kantor, lalu bisa janjian chat atau video call via Skype dengan istri atau anggota keluarga yang lain.
Kemajuan zaman memang menjadikan segala itu kenangan yang langka. Sebab, setelah berganti ponsel Android, wifi cepat dan murah bisa dipasang di tempat tinggal, hubungan komunikasi dengan keluarga jadi lebih mudah dilakukan. Bakda dari Sumbawa itu misalnya, aku diterima tugas belajar DIV STAN di Bintaro. Sementara istri dan anakku masih di Bandung. Kami bertemu hanya pada akhir pekan. Setiap hari ya alhamdulillah, kami bisa melakukan aktivitas video call. Kosanku sudah terpasang IndiHome. Jadi alhamdulillah, rindu itu bisa sedikit terobati.
Dari awalnya hanya di kota atau di pinggir jalan utama, kini jaringan internet sudah masuk ke desa-desa. Internet stabil tak bisa ditampik sudah menjadi kebutuhan utama. Saat sudah lulus tugas belajar, dan kami kembali berkumpul bersama, setelah memilih tempat tinggal baru di Bogor, yang kucari pertama kali adalah provider internetnya.
Ketersediaan jaringan internet itu benar-benar dapat menjaga ukhuwah antara anggota keluarga maupun antar teman. Bahkan selama pandemi, kayak baru tersadar, kami bisa menyelenggarakan buka puasa bersama secara online dengan alumni dari Matematika ITB. Buka puasa yang kalau offline susah banget terselenggara karena jarak yang jauh itu. Malah lewat online, kami bisa bertatap muka, meski makanannya bawa sendiri-sendiri, dan kami makan bersama di hadapan layar.
Kubayangkan andai masa di Sumbawa dulu teknologi dan kemudahan sudah semaju saat ini. Rasanya rindu tidak bakal berat banget kali, ya?
Tapi satu hal penting, teknologi ini juga kerap membawa efek negatif. Kebersamaan seperti di Sumbawa itu apa masih bisa terjadi kalau teknologi ponsel pintar sudah amat canggih? Karena harus diakui, ponsel pintar itu kerap menjadi candu. Berakibat mendekatkan yang jauh, tapi justru kerap menjauhkan yang dekat. Tangan seringnya berada di hape, dan mengabaikan sekitar. Jangan sampai seperti itu.
Setiap zaman selalu punya bagian yang berharga. Keterbatasan teknologi pada saat itu melahirkan banyak interaksi di dunia nyata. Aku punya banyak teman yang saling kurindukan selama berada di Sumbawa, yang sudah hampir 8 tahun tidak bertemu. Dan internet stabil dan cepat masih menghubungkan kami lewat media sosial, di Instagram misalnya, kami masih sering bertukar tanda love untuk menyukai unggahan foto perjalanan masing-masing.