“Kamu pernah mendapat penghargaan pegawai berprestasi luar biasa?” tanya atasanku yang baru saat hendak menandatangani formulir keikutsertaanku sebagai calon talenta. Baru tersenyum, belum sempat kujawab pertanyaan itu, beliau kembali bertanya, “Di bidang apa? Berarti kamu mendapat kenaikan pangkat luar biasa?”
Tentu, pertanyaan ini akan melahirkan sebuah cerita yang cukup panjang. Tidak banyak yang tahu aku melalui pemilihan pegawai berprestasi pada tahun 2020 lalu. Serangkaian proses kujalani mulai dari diusulkan kepala seksiku (yang lama) hingga wawancara untuk tingkat kementerian. Mulanya aku ragu, berat rasanya memaknai frasa “pegawai berprestasi” itu sebab performaku di kantor cenderung biasa-biasa saja. Aku merasa tidak banyak melakukan sesuatu yang berdampak. Prestasi itu sering diidentikkan dengan inovasi yang dilakukan seorang pegawai di dalam pekerjaan yang kemudian menjadi model bagi pegawai-pegawai lain (dan bahkan dibakukan). Aku tidak punya prestasi semacam itu.
“Prestasi menulismu sudah banyak, Pring…” ujarnya lagi.
Di dalam hatiku, sebenarnya aku masih merasa tidak layak untuk maju. Pasalnya, prestasi yang kuraih bersifat pribadi.
Sejak kuliah, memang aku sudah berkecimpung di dunia bahasa dan kepenulisan. Pada tahun 2009, saat libur semester, iseng aku mengikuti pemilihan Duta Bahasa Provinsi Sumatra Selatan. Ternyata, aku terpilih menjadi pemenangnya. Saat itu, aku sudah cukup banyak menulis. Cerpen dan puisi. Novel juga. Beberapa tulisanku dimuat di berbagai media massa dan terkadang memenangkan perlombaan. Beberapa buku sudah diterbitkan. Hal yang kusyukuri juga saat menjadi penulis terpilih (emerging writer) pada pagelaran Makassar International Writers Festival 2014 dan program residensi Asean Literary Festival 2016. Aku pun memenangkan Kompasiana Award kategori Fiksi pada tahun 2019 lalu.
Cap penulis terkadang membuatku terbebani. Sebab, tidak sedikit orang yang menganggap bahwa seorang penulis mampu menulis apa saja dengan mudah dan cepat. Padahal tidak demikian adanya. Seorang penulis yang baik sebaiknya hanya menulis hal-hal yang dipahaminya dengan baik. Dan untuk memahami sesuatu, seorang penulis membutuhkan riset.
Penulis zaman dahulu memiliki kemampuan observasi yang luar biasa sebagai bagian dari risetnya. Taruhlah Pramoedya Ananta Toer yang mampu menulis sedemkian mahsyur lewat Tetralogi Bumi Manusia. Beliau mampu menghidupkan Minke sebagai manusia zaman itu. Tentu, tidak sembarangan risetnya. Aku pun memaklumi kalau banyak yang menganggap Pram masihlah penulis terbaik karena bobot karyanya membutuhkan riset yang mendalam sehingga menjadi luar biasa. Padahal saat itu belum ada internet.
Penulis zaman sekarang sangat terbantu dengan adanya internet. Studi pustaka bisa dilakukan lebih mudah.
Aku termasuk tipe penulis yang membutuhkan riset yang mendalam sebelum menulis. Ketika menulis novel PHI: Hidup adalah Perkara Mengatasi Kenangan demi Kenangan, aku membaca begitu banyak literatur untuk menguatkan latar dan penokohan. Riset dan penulisannya selesai ketika aku menempuh tugas belajar, tinggal di kos dengan koneksi internet provider yang kencang. Waktu itu syukurlah ada IndiHome dari Telkom Indonesia yang koneksinya membantu semua proses itu (termasuk proses mengerjakan tugas-tugas kuliah).
Karena itulah, ketika ada yang menganggap bahwa penulis bisa menulis apa saja, rasanya ingin kujawab bahwa aku membutuhkan waktu yang cukup untuk memahami tema yang harus kutulis. Tidak cukup 2-3 referensi saja. Biasanya aku membaca lumayan banyak hal yang berkaitan dengan topik sebelum mampu melakukan sintesis dalam tulisan yang baru.
Bakda menyelesaikan tugas belajarku di D4 STAN, aku ditempatkan di Subdit Penelitian & Pengembangan, dan Kerjasama Kelembagaan. Kasubditku bernama Pak Muhdi. Subdit ini sebenarnya baru dibentuk sebagai upaya mewujudkan organisasi dengan karakter evidence-based policy. Sebagai subdit baru, Pak Muhdi ingin meletakkan pondasi dalam makna litbang. Beliau membuat sebuah jurnal bernama Indonesian Treasury Review (Itrev). Tidak tahu kenapa, aku merasa sangat cocok bekerja dengan beliau. Sifatnya yang egaliter dan mendekatkan diri terlebih dahulu, meski ia seorang doktor, membuatku nyaman. Kami (bersama tim) berproses untuk mampu menerbitkan jurnal ilmiah di Ditjen Perbendaharaan itu. Selain Itrev, ada publikasi lain yang kami terbitkan yakni Indonesian Treasury Update (ITUp). ITUp ini lebih ke analisis ‘kecil-kecilan’ mengenai kondisi makro ekonomi Indonesia. Niatnya adalah sebagai media edukasi agar insan perbendaharaan di seluruh Indonesia semakin melek dengan makro ekonomi. Pasalnya, saat itu organisasi tengah berbenah, terjadi shifting sifat pekerjaan yang tadinya dominan klerikal menjadi analitis. Proyek ITUp ini lumayan ambisus karena terbitnya dwimingguan. Aku yang saat itu ditunjuk sebagai penanggung jawab cukup kelabakan dalam penyusunan naskah. Untungnya tim cukup kooperatif sehingga alhamdulillah, penerbitan selalu tepat jadwal.
Sayangnya kebersamaan dengan Pak Muhdi tidak lama. Beliau promosi menjadi eselon II dan kami tidak bisa bersama-sama lagi mengantar ITRev hingga mendapatkan akreditasi Sinta. Mimpi itu berlanjut ke Kasubdit yang baru, dengan berbagai produk publikasi baru. Singkat cerita ITRev berhasil terakreditasi Sinta 2. Namun, di tengah jalan itu, aku banyak tidak bersepakat dengan atasanku yang baru itu sehingga kami berselisih dan tidak lagi bisa bekerja sama.
Aku pikir karirku tenggelam saat itu. Posisiku sudah “tidak dapat meja” alias tidak mendapat pekerjaan yang strategis lagi. Padahal sebelum itu terjadi, aku merasa aktualisasi diriku difasilitasi oleh organisasi. Saat itu aku ditunjuk sebagai pelaksana satu-satunya yang ikut dalam tim pengajar workshop menulis ke seluruh kantor wilayah Ditjen Perbendaharaan. Tadinya, aku mendapatkan 6 tempat. Belakangan aku baru tahu bahwa atasanku yang baru itu yang meminta ke sekretariat agar aku mengajar di 3 tempat saja.
Momen itu menjadi jawaban bagi anggapan bahwa Pringadi hanya mampu menulis fiksi saja. Sempat kudengar selentingan opini semacam itu tatkala aku ditempatkan di Litbang seusai tugas belajar. Padahal, pada prinsipnya, menulis adalah tentang Hipotetico Deductive. Elemennya sama. Hanya wadahnya yang berbeda. Kadang-kadang pengen sombong juga, bahwa aku bukan hanya seorang sastrawan, melainkan juga akademisi. Jadi tidak pernah ada masalah selama aku bisa melakukan riset. Tidak seperti eksposur yang baik tentang tulisan fiksiku, tulisan ilmiah populerku tentang ekonomi dan kebijakan publik pun cukup banyak. Aku menulis di media-media daring seperti Detik, Kompas.com, dan Asumsi. Bahkan ada satu tulisanku yang sebelumnya tayang di laman Kementerian Keuangan dikutip di laman Sekretariat Kabinet dan mendapatkan ratusan ribu pembaca. Itu menyenangkan.
Setelah konflik itu, aku sempat patah arang. Meski kemudian aku dipindahkan ke unit lain, di bagian Proses Bisnis & Hukum, terus terang mentalku tercederai. Aku menjadi tidak percaya diri. Aku lebih banyak diam dan mendengar. Namun, aku tetap menulis.
Ternyata, yang kemudian kuketahui belakangan, organisasi masih mengamati kiprahku. Tulisan-tulisanku di media massa itu dianggap sebagai bagian edukasi kepada publik mengenai kebijakan. Terus terang, dalam menulis, aku berusaha membedah kebijakan dari kedua sisi, baik pros dan kons. Sebab aku meyakini arti kebijakan publik itu adalah what to do and not to do by the government. Jadi, tidak mungkin ada narasi tunggal bahwa hanya ada hal baik di sisi kebijakan. Pasti ada hal yang tidak baik juga. Tugas pemerintahlah yang kemudian memutuskan kebijakan yang dipilih lebih banyak sisi baiknya.
Kembali ke pertanyaan kepala seksiku yang baru tadi, “Di bidang apa (aku mendapatkan penghargaan)?” Tertulis dalam sertifikat, prestasiku adalah sebagai penggerak budaya literasi di Ditjen Perbendaharaan dengan keterlibatan diri dalam berbagai publikasi organisasi.
Kini, banyak sekali insan perbendaharaan yang menulis di media massa. Tentu lucu jika kukatakan itu akibat peranku. Enggak. Ada banyak variabel. Utamanya karena ada IKU Literasi bagi pejabat Ditjen Perbendaharaan. Selain itu workshop menulis ke seluruh kanwil itu juga menjadi penanda gong pejabat/pegawai mulai banyak menulis di media massa. Karya-karya mereka saat workshop harus dikirim ke media dan alhamdulillah lebih dari 50 (lupa angka pastinya) tulisan dimuat di media cetak.
Lalu apakah aku mendapatkan kenaikan pangkat luar biasa? Sayangnya, jawabannya tidak. Aku gagal saat wawancara itu. Pada saat itu, ternyata meski di permukaan aku merasa tidak layak, rasanya sedih juga merasakan kegagalan. Masih ada bagian diri yang menginginkan pengakuan, dan mencari dalih pembenaran bahwa saat itu kriteria yang diinginkan adalah yang berhubungan dengan teknologi dan secara langsung berdampak pada proses bisnis, sambil menyodorkan seorang teman yang prestasinya dalam bidang desain dan media juga gagal.
Setelah kegagalan itu, aku terhibur karena lolos seleksi tugas belajar ke jenjang selanjutnya (S2) ke Ilmu Administrasi Publik Universitas Sriwijaya. Juli 2021 aku berangkat ke Palembang. Perkuliahan dilakukan sebagian besar secara daring. Hal itu membuatku bisa nyaman tinggal di kampung halamanku di Kabupaten Banyuasin, dan syukurlah IndiHome sudah menjangkau rumahku. Memang luar biasa keterjangkauan internet provider dari Telkom Indonesia ini. Bisa dibilang besar jasa IndiHome dalam membantu perkuliahanku.
Sekarang, kini aku sudah aktif kembali menjadi seorang pegawai Ditjen Perbendaharaan, Kementerian Keuangan. Mentalku sudah jauh lebih baik karena aku seorang master, uhuk uhuk. Saatnya membuktikan diri. Aku akan menulis fiksi lagi. Aku akan menulis artikel-artikel ilmiah populer lagi. Dan, aku akan mulai menulis jurnal ilmiah lebih banyak guna portofolio, mungkin saja Tuhan kembali membukakan jalan untukku melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya (S3). Aamiin.