“Anak Bapak sudah harus dikeluarkan. Segera.”
Vonis dokter Yuri itu begitu membuatku kaget. Pasalnya, aku sama sekali tidak menyangka bahwa kandungan yang belum masa hari perkiraan lahiran itu memiliki kondisi yang membahayakan. Sang dokter berkata, sudah terdapat pengapuran di plasenta sehingga asupan makanannya sangat terbatas. “Bayi Anda sudah kelaparan. Makanya ukurannya tidak berkembang. Perkiraan kami di sekitar 2 kilogram. Kami tidak mau ambil risiko…” lanjur dokter Yuri lagi.
Padahal hari itu kami hanya niat kontrol rutin kandungan. Mumpung aku sedang pulang ke Palembang. Dari Sumbawa Besar. Saat usia kandungannya 7 bulan, istriku kupulangkan karena anggapan fasilitas kesehatan yang kurang memadai di Sumbawa. Plus tidak ada siapa-siapa yang akan membantu menjaganya nanti.
Kepulangan ke Palembang itu sebenarnya semingguan lebih cepat. Harusnya, rencana semula, aku menjalani diklat terlebih dahulu di BDK Denpasar selama seminggu. Setelah itu, baru aku akan pulang. Namun, Zane (istriku) bersikeras aku harus pulang dahulu. Sudah rindu. Ndilalah, takdir Allah memang manusia tak tahu.
Anggapan soal fasilitas kesehatan (dan kapasitas tenaga kesehatan) di Sumbawa yang kurang memadai itu sebenarnya terbukti pasca kontrol pertama di Palembang. Kami sudah curiga sebab mulai memasuki bulan ke-6, dan terutama ke-7, badan Zane mengembung. Bukan menggemuk biasa. Dokter di Sumbawa selalu santai dan tidak begitu menanggapi kondisi itu. Namun, begitu sampai di Palembang, kekhawatiran kami terbukti. Tensi Zane naik drastis dan mendadak. Dokter sebenarnya langsung menyarankan dirawat untuk menurunkan tensi. Kami menolak dan memilih berobat di rumah ditambah resep tradisional seperti jus apel dan seledri. Dokter bilang Zane mengalami preeklamsia.
Apa Itu Preeklamsia?
Singkat kata, preeklamsia adalah keracunan kandungan. Preeklamsia adalah kondisi peningkatan tekanan darah disertai dengan adanya protein dalam urine. Kondisi ini terjadi setelah usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Preeklamsia adalah kondisi kehamilan berisiko tinggi yang harus diberikan penanganan untuk mencegah komplikasi dan mencegahnya berkembang menjadi eklamsia yang dapat mengancam nyawa ibu hamil dan janin.
Selain tensi, memang urinenya dites untuk melihat kandungan protein itu. Benar adanya, urinenya positif terdapat protein.
Penyebab preeklamsia sendiri tidak diketahui secara pasti. Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab preeklamsia adalah faktor genetik, memang ada diabetes atau hipertensi, penyakit ginjal, autoimun, dan gangguan darah, hamil pada usia kehamilan yang rentan (terlalu muda atau terlalu tua), atau pun obesitas.
Yang jelas, seorang ibu hamil yang mengidap preeklamsia akan sangat berisiko bila melahirkan normal. Operasi caesar diperlukan untuk menyelamatkan kedua nyawa (ibu dan anak yang dikandung). Dalam kasus kelahiran normal atau telat dikeluarkan dan keburu eklampsia, sang ibu tidak dapat bertahan karena tekanan darah tinggi tadi akan terus meningkat pesat hingga memecahkan pembuluh darah di otak.
Rencanakan Persalinan Secara Matang dengan Tes Potensi Caesar
Merencanakan persalinan secara matang sebenarnya bukan hanya dari istri. Para suami juga harus turut terlibat, dan mengetahui betul-betul kondisi istri dan janin yang dikandungnya. Terutama mengenai kondisi kesehatan mereka berdua sehingga para suami tahu akan risiko kehamilan tersebut.
Sebab, masih jamak juga di masyarakat, anggapan bahwa suami tidak perlu tahu apa-apa, hanya cukup memberi nafkah. Dan lalu sebisanya memaksakan kelahiran normal tanpa peduli risiko kehamilan.
Hal ini disebabkan adanya mitos-mitos yang berkembang di masyarakat yang menuduh perempuan dengan lahiran caesar tidak utuh menjadi perempuan. Dianggap lemah dan bahkan di sebuah negara, dianggap tidak beruntung.
Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi Konsultan Fetomaternal Dr. dr. Rima Irwinda, SPOG(K) dalam kegiatan Bicara Gizi secara virtual yang bertema ‘Rencanakan Persalinan secara Matang dengan Tes Potensi Caesar’, pada Rabu (27/10/2021), mengatakan “Setiap perempuan yang merencanakan kehamilan maupun mempersiapkan persalinan, sebaiknya melakukan deteksi dini apakah memiliki faktor risiko yang dapat menyebabkan kehamilan berisiko tinggi dan memengaruhi kondisi kesehatan diri sendiri, janin, atau keduanya.”
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk persiapan persalinan, yakni dengan melakukan tes potensi caesar. Pasalnya, berdasarkan riset dari organisasi kesehatan dunia (WHO), jumlah persalinan caesar terus meningkat secara global dengan jumlah lebih dari 1 di antara 5 (21%) dari semua kelahiran. Sementara berdasarkan RISKESDAS 2018, dalam skala nasional angka prevalensinya hampir 18%.
Ini artinya risiko-risiko kehamilan itu sudah dapat dideteksi lebih dini oleh teknologi kesehatan yang ada sekarang. Tujuannya ya untuk keselamatan sang ibu dan bayi yang dikandungnya.
Untuk memudahkan orangtua dalam melakukan deteksi dini potensi caesar, Danone SN Indonesia by Nutriclub meluncurkanTes Potensi Caesar 2.0. Tools digital ini merupakan pengembangan dari Tes Potensi Caesar yang diluncurkan pada tahun 2020. Dari hasil tes tersebut, akan didapatkan informasi yang lebih akurat dan komprehensif berupa angka persentase tingkat potensi caesar dengan skala low/med/high risk. Hasil tes yang dilakukan juga sudah dipersonalisasi sesuai dengan kondisi yang sedang dialami para ibu, sehingga dapat digunakan sebagai data penunjang saat berkonsultasi dengan dokter sebagai bahan pertimbangan.
dr. Rima juga menegaskan bahwa pengecekan potensi melahirkan secara caesar sebaiknya dilakukan secara berkala, terutama saat kehamilan memasuki trimester ketiga.
Kasus-kasus yang Memerlukan Persalinan Caesar
Kasus-kasus yang memerlukan persalinan caesar, antara lain:
- Disproporsi panggul dan kepala janin, atau kepala janin lebih besar dari ukuran panggul para ibu yang akhirnya disarankan dokter untuk melakukan persalinan secara caesar.
- Komplikasi kehamilan. Contohnya adalah hipertensi kehamilan atau preeklamsia yang tidak terkontrol dengan obat-obatan dan memiliki risiko jika harus melakukan persalinan secara normal.
- Infeksi akut genital seperti herpes) dan HIV yang bisa menularkan pada bayi yang akan dilahirkan.
- Bekas caesar kelahiran sebelumnya. Jadi kalau sudah pernah caesar dua kali atau lebih, sebaiknya melakukan caesar kembali karena risiko untuk persalinan normal cukup besar, terutama risiko terjadinya rahim yang robek sebelum bayinya dilahirkan.
- Persalinan macet, misalnya sang ibu sudah mulas dan terjadi pembukaan tetapi pada waktu tertentu tidak ada kemajuan persalinan baik pembukaan maupun turunnya bayi ke jalan panggul.
- Kehamilan multipel seperti kembar.
- Gagal induksi persalinan.
- Ruptur uteri atau terjadi robekan di rahim pada saat bayinya belum dikeluarkan.
Selain melihat kondisi ibu hamil, dr. Rima juga menyebutkan beberapa faktor persalinan caesar atas keinginan sendiri dari calon orangtua. Adapun di antaranya:
- Riwayat persalinan normal dengan komplikasi yang membuat trauma.
- Beranggapan kelahiran caesar lebih aman.
- Cemas menghadapi persalinan normal untuk pertama kalinya.
- Jadwal persalinan bisa diketahui pada persalinan caesar, sehingga bisa memudahkan penentuan tanggalnya.
Risiko Kelahiran Caesar
Meski untuk menghindari kondisi yang membahayakan nyawa ibu dan sang bayi, persalinan caesar bukan tanpa risiko. Dalam persalinan caesar pun ada risiko seperti risiko kematian yang lebih tinggi, infeksi luka operasi, perdarahan, perlukaan organ sekitar, perlekatan setelah operasi, hernia insisional, depresi post natal, komplikasi akibat anestesi, bahkan pembekuan darah yang menyumbat paru. Sementara pada bayi, risikonya seperti kesulitan bernapas sementara pada neonatus.
Dokter Spesialis Anak Konsultan Alergi Imunologi dr. Molly D. Oktarina, SpA(K) yang turut hadir sebagai narasumber membagikan informasi tentang risiko metode kelahiran caesar. Salah satunya adanya gangguan keseimbangan kolonisasi mikrobiota di saluran pencernaan si Kecil. “Mikrobiota sehat merupakan aspek penting dalam menjaga daya tahan tubuh si Kecil. Bagi Mama yang harus melakukan persalinan caesar, memberikan ASI menjadi cara terbaik untuk mengoptimalkan sistem daya tahan tubuh anak kelahiran caesar,” ucap dr. Molly.
Sang anak biasanya berisiko memiliki alergi tertentu. Untuk mengantisipasinya, sang anak harus diberi sinbiotik. Kekuatan daya tahan tubuh si kecil berawal dari sistem pencernaan yang sehat. Hal ini didukung penuh dari konsumsi asupan hariannya. Salah satu asupan yang memiliki manfaat baik untuk sistem cerna si kecil adalah kandungan sinbiotik.
Begitulah pengalamanku saat kelahiran anak pertamaku. Hari itu, setelah bengong sejenak, aku harus menguatkan mental menghadapi kondisi persalinan istriku. Malam itu iya diberikan dua suntikan. Pertama suntikan penurun tekanan darah. Kedua, suntikan pematang paru buat bayi di dalam perut.
Operasi caesar dilakukan sekitar pukul 10 pagi. Hanna lahir kemudian, dengan berat 1,6 kilogram, kecil sekali. Kami pun harus bersabar untuk bisa membawanya pulang karena ia harus mendapatkan perawatan khusus. Ternyata, karena sudah cukup lama terhambat asupan makanannya, kesadarannya untuk makan itu berkurang. Dokter harus melihat ada tren yang baik dalam pertumbuhan berat badannya selama beberapa hari diikuti perilaku sang bayi dalam minum susu.
Syukurlah ASI istriku cukup lancar. Meski awalnya harus dipancing-pancing terlebih dahulu. Dan butuh beberapa waktu buat Hanna untuk bisa mengenali puting. Setelah itu… alhamdulillah, Hanna tumbuh, meski dalam perhatian yang sangat ketat hingga usia 3 tahun (karena ia masih sangat susah makan). Sekarang sih, jangan ditanya, makannya lebih banyak dari Ayahnya.
1 Comment. Leave new
Keren banget Mas Pringadi