Hanna girang bukan kepalang. Ia baru saja menyelesaikan satu level kelas Bahasa Inggris di Speaking Partner. Intermediate I. Terlebih, sertifikatnya kucetak di kertas yang apik. Bangga dia pada nilainya yang A dan sertifikat itu disimpan baik-baik.
Dalam beberapa bulan terakhir, Hanna (anakku yang pertama) memang rajin mengikuti les Bahasa Inggris. Setiap malam, selama satu jam, ia akan duduk manis di depan laptop, menyimak kelas melalui Zoom. Jenis kelas yang diikuti adalah kelas Conversation yang memang melatih anak untuk bisa dan percaya diri berbicara dalam bahasa Inggris. Terlihat hasilnya, sampai kini, Hanna sudah mengerti membuat kalimat sederhana dalam bahasa Inggris dan frasa-frasa tematik yang sudah ia pelajari.
Ini menjadi salah satu ciri Parenting 4.0 dengan membiarkan akses anak ke teknologi itu terbuka. Poinnya adalah mengajari anak-anak tentang kegunaan teknologi tersebut. Salah satunya adalah sebagai alat belajar.
Kesadaran pada pentingnya internet itu kupahami. Hal pertama yang kulakukan setelah pindah ke Sumatra Selatan adalah memasang internet di rumah. Alhamdulillah, akses IndiHome sudah menjangkau rumah kami yang notabene berada di pinggiran Banyuasin. Berkat akses internet 50 Mbps yang kupilih, rasanya terbantu sekali dari segi membuka cakrawala sang anak terhadap dunia luar. Tidak salah kalau IndiHome disebut sebagai internetnya Indonesia karena keterjangkauannya sampai ke daerah pinggiran.
Sebagai pegiat literasi, tentu saja semacam ada tuntutan bagiku agar anak-anakku juga mencintai persoalan literasi ini. Sebagaimana kita ketahui, tantangan terbesar sebagai orang tua adalah menyelamatkan anak-anak kita dari ketergantungan terhadap gawai. Gawai itu sebenarnya tidak pernah salah. Pemanfaatannyalah yang kerap keliru dengan menjadikan gawai itu sebagai eskapisme dari keengganan orang tua untuk terlibat lebih banyak dalam parenting terhadap anak-anak.
Dalam strategi kebudayaan itu memang seharusnya penanaman budaya literasi dikedepankan sebelum budaya digital. Literasi dalam arti luas adalah pengetahuan itu sendiri. Dalam arti sempit, buku-buku itu sudah secara khusus merangkum pengetahuan tertentu dan memiliki validasi. Ditambah, anak juga akan terlatih untuk khidmat dalam membaca pengetahuan itu. Kekhidmatan inilah yang dibutuhkan sehingga gawai tidak mendistorsi karakter anak. Baik dalam hal efeknya yang ingin serba instan maupun bias pada kebenaran mengingat segala hal ada di internet.
Kontrol orang tua kerap kali buruk. Padahal teknologi memungkinkan pendampingan yang baik dan mampu menguatkan relasi orangtua dan anak-anaknya.
Contoh sederhananya adalah Google dan Youtube. Ini mungkin remeh, tapi sudahkah kita para orang tua mengajarkan anak untuk membuat email sendiri dan kemudian menghubungkan email anak ke email orang tuanya?
Di satu sisi, aku berpikiran sang anak harus diberi kebebasan terhadap akses teknologi itu. Dia harus mulai terbiasa menggunakan Google untuk mencari apa yang ingin ia ketahui, baik yang terkait pelajaran sekolahnya maupun pengetahuan umum yang menarik. Namun, di sisi lain, orang tua kudu diberi peran sebagai pemantau kegiatan dan perkembangan anak. Hal apa yang ia cari, yang ia tonton, dapat kita pantau, lalu kita beri tahu mana yang boleh dan mana yang belum boleh disertai penjelasannya.
Aku juga sama sekali tidak melarang ia menonton siaran hiburan di Youtube atau di Netflix misalnya. Hanya kutambahkan penekanan, misalnya terkait alokasi waktu berapa lama maksimal menonton dalam sehari dan pada jam-jam berapa saja diperbolehkan. Kemudian, tontotan yang dipilih harus berbahasa Inggris untuk bisa melatih pendengarannya terhadap percakapan dalam bahasa Inggris. Sebelum tidur, biasanya aku akan mengajaknya mengobrol dalam bahasa Inggris untuk memperlancar kemampuannya.
Poin penting dalam Parenting 4.0 yang lain adalah bagaimana kemudian kita menanamkan tanggung jawab. Di dalam bukunya, R.D Asti mengungkapkan bahwa Parenting 4.0 ini memberikan solusi bahwa semestinya kita memperkenalkan tugas baru secara sistematis kepada anak-anak praremaja dan remaja. Manfaat internet begitu luasnya dan telah mencakup semua aspek dengan hadirnya berbagai aplikasi. Mereka juga kudu dikenalkan pada berbagai aplikasi tersebut, tetapi tidak menghilangkan hal yang riil. Misalnya, anak-anak diajarkan memesan makanan lewat aplikasi pesan makanan online, tetapi juga masih disuruh ke warung untuk membeli sarapan. Sebab, ada efek samping dari teknologi, yakni menghilangkan hubungan sosial antar manusia, yang kini banyak menjangkit generasi Z, Alpha, dan setelahnya.
Kemudahan yang diterima dalam hidup di era serba teknologi adalah keniscayaan. Segalanya terasa instan, dituntut serba mudah dan cepat. Hal itu jangan sampai mempengaruhi anak sehingga kita sebagai orang tua tetap harus menanamkan akar kepada mereka sebelum mereka mengeksplorasi diri lebih jauh, dalam penggalian minat dan bakat.
Kita tahu bahwa kecerdasan tiap anak berbeda-beda jenisnya. Dan tak dimungkiri aku pun sebagai orang tua kerap salah membandingkan anak dengan orang tuanya. Tak jarang terucap saat marah, bahwa saat seusianya dulu, aku sudah meraih berbagai prestasi di bidang akademis, mampu menguasai matematika dan memenangkan lomba ini-itu. Pada akhirnya itu akan menjadi beban bagi sang anak sebab sejarah orang tua belum tentu berkaitan dengan identitas sang anak.
Karena itulah, sang anak harus dibiarkan mencari identitasnya, dalam hal minat dan bakat.
Dari berbagai platform yang ada, belakangan aku tahu Hanna mewariskan identitas pejalan dariku. Ya, dia suka jalan-jalan. Cita-citanya pengen ke Turki. Entah inspirasi dari mana. Tidak mungkin ‘kan gara-gara Cappadocia di serial Layangan Putus? Dia pun hobi browsing informasi mengenai Turki. Untunglah, koneksi yang lancar setiap saat dari IndiHome, anak perusahaan Telkom Indonesia, mampu memfasilitasi keingintahuan Hanna.
Aku pun kerap membantunya mencari informasi terkait Turki. Misalnya beberapa malam lalu kutunjukkan ada promo paket wisata ke Turki seharga Rp13 juta. Beberapa malam ia merengek minta bulan depan ke Turki.
Di situlah kemudian kuselipkan pelajaran soal manajemen keuangan, berkaitan dengan tanggung jawab. Orang tua kadang harus memperlakukan anaknya sebagai manusia yang mampu berpikir sama dengan orang dewasa. Jangan ragu untuk menanamkan nilai-nilai keuangan sejak dini.
Pertama, buat dia paham seberapa banyak Rp13 juta itu. Cari perbandingannya apa yang bisa ia dapatkan dengan uang sejumlah itu. Lalu jangan ragu untuk memberi tahu kondisi finansial keluarga, jumlah penghasilanmu sebulan, dan kenapa kita harus bijak mengelola penghasilan dengan mengajak ia berpikir kebutuhan apa saja yang harus dipenuhi dalam sebuah keluarga setiap bulannya. Barulah setelah itu, ajarkan ia peluang bagaimana bisa mendapatkan uang itu dengan usaha sendiri.
Kukatakan kepada Hanna, salah satu cara untuk meraih rupiah adalah dengan menulis. Itulah alasannya kenapa ia secara disiplin kuminta menulis setiap pengalaman istimewa yang ia dapatkan. Ya, beberapa bulan terakhir ini, secara rutin kuminta dia menulis 1 halaman/minggu dalam Bahasa Indonesia lalu diterjemahkan ke Bahasa Inggris. Kalau sudah, akan kukoreksi kesalahan-kesalahannya. Aku ingin menanamkan skill menulis kepadanya karena itu akan jadi bekal ia kelak selain soal menulis adalah untuk melatih fokusnya, untuk memperkuat struktur logika berpikirnya.
Keputusan-keputusan penting dalam hidup yang semakin menantang di masa depan bukanlah sebuah proses yang sederhana. Segalanya harus dimulai dari pola asuh sang anak sejak dini.
Sebagai orang tua milenial, tentu pola asuh itu juga harus menggambarkan pembacaan terhadap generasi anak-anak kita. Apa yang menjadi kelebihannya kita perkuat, apa yang menjadi kelemahannya kita perbaiki. Parenting 4.0 dengan internet of things mengarahkan agar segala teknologi itu menjadi senjata bagi anak-anak kita untuk menghadapi dunia. Dan jangan sampai malah menusuk dirinya sendiri!