Pernah nggak sih membayangkan kalau anak atau kerabat kita menderita kusta?
Rabu , 26 Januari lalu, aku berkesempatan menghadiri Talkshow KBR bekerja sama dengan Komunitas ISB mengenai “Tolak Stigma Kusta, Bukan Orangnya.” Di situ aku banyak belajar tentang penyakit kusta ini yang ternyata lebih banyak mitosnya ketimbang fakta. Tak pelak, ada stigma-stigma tertentu yang menempel ke penderita kusta yang ternyata lebih berbahaya dari penyakit kusta itu sendiri.
Btw, tahukah kamu bahwa Hari Kusta Sedunia 2022 jdiperingati setiap Minggu terakhir pada bulan Januari? Tahun ini, Hari Kusta Sedunia tersebut jatuh pada 30 Januari 2022. Hari tersebut dipilih oleh aktivis kemanusiaan Perancis, Raoul Follereau pada 1953. Peringatan Hari Kusta Sedunia bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap keberadaan penyakit kusta, serta penderitanya. Mengutip laman WHO, tema Hari Kusta Sedunia pada 30 Januari 2022 adalah “Bersatu untuk Martabat”. Yang berarti mennyerukan persatuan dalam menghormati martabat orang yang pernah mengalami kusta.
Buat yang belum tahu, penyakit kusta atau yang dikenal sebagai penyakit Hansen adalah sebuah infeksi bakteri yang memengaruhi sitem saraf, kulit, hidung, dan mata. MedicalNewsToday mengatakan dengan adanya perawatan dini pada penderita kusta, maka bisa mencegah terjadinya kerusakan permanen.
Tolak Stigma Kusta
Penyakit kusta atau lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Bakteri ini tumbuh lambat dan tak mudah menyebar. Sehingga mereka yang terkena penyakit ini sebenarnya bisa terus bekerja dan memiliki kehidupan yang aktif selama mereka melakukan perawatan. Penyakit kusta seringkali diiringi informasi yang menyebar di masyarakat bahwa penyakit ini adalah sebuah penyakit yang sangat mudah ditularkan. Namun saat ini para ahli mengetahui bahwa itu adalah hal tidak benar. Selain itu, penyakit kusta juga bisa diobati, meskipun perawatan tidak dapat membalikkan kerusakan yang ada.
Nah, di sini jelas bahwa ketakutan berlebihan pada penderita kusta itu tidak benar ya.
Gejala penyakit kusta
Penyakit kusta atau lepra berkembang sangat lambat. Hal ini karena gejala bisa muncul setelah 20 tahun usai terinfeksi. Terkadang seorang penyintas tidak menyadari dirinya sudah terinfeksi sampai akhirnya gejala seperti kehilangan kemampuan merasa sakit muncul, atau kulit menunjukkan adanya perubahan. Dari 90 persen orang dengan penyakit kusta atau lepra, gejala yang muncul pertama kali adalah mati rasa. Mati rasa tersebut biasa muncul beberapa tahun sebelum adanya perubahan warna kulit.
Adapun mati rasa ini biasanya pasien kehilangan sensasi untuk merasakan: Suhu, Sentuhan ringan dan rasa sakit, serta Tekanan.
Kusta atau lepra bisa menimbulkan perubahan kulit pada satu atau beberapa bagian kulit yang kehilangan warnanya. Perubahan kulit yang dimaksud yakni:
- Terlihat semakin cerah atau semakin gelap
- Kering atau muncul serpihan
- Adanya peradangan seperti kemerahan
- Sensasi terbakar
- Adanya nodul Timbul borok tanpa rasa sakit di kaki Kulit menebal di sekitar lesi
- Benjolan atau pembengkakan di wajah atau daun telinga.
Gejala yang muncul pada penyakit ini bervariasi. Seringkali gejala mati rasa diikuti pula dengan Hidung tersumbat dan mimisan Lemah otot, Lemah dan mati rasa pada tangan dan kaki, Saraf bengkak, terutama sekitar lutut, siku dan leher, Saraf membesar utamanya di siku dan lutut, dan Masalah pada mata.
Selain itu dalam perkembangannya seseorang dengan lepra bisa mengalami: Kehilangan alis, Muncul borok di telapak kaki yang tak kunjung sembuh, Lumpuh dan ditorsi tangan dan kaki, Menghilangnya jari tangan dan kaki karena tulang rawan memendek dan tubuh menyerapnya kembali, dan Kebutaan.
Jika lepra menyerang hidung bisa menyebabkan kerusakan internal dan jaringan parut. Akhirnya memengaruhi sputum yang merupakan tulang rawan di antara lubang hidung. Dan akibatnya hidung menjadi “runtuh”. Penyakit kusta atau lepra ini juga bisa memengaruhi saraf yang bertanggung jawab pada respons berkedip mata, dan juga menyebabkan mata sangat kering sehingga rentan infeksi.
Upaya NLR Indonesia dalam Mengatasi Stigma Diskriminasi Penyakit Kusta
Organisasi masyarakat yang bekerja untuk eliminasi kusta NLR Indonesia mengungkap fakta Indonesia menempati peringkat ketiga negara dengan jumlah kasus penyakit kusta terbanyak di dunia, setelah India dan Brasil. Tercatat per 2020 lalu masih ada enam provinsi yang belum bisa mengeliminasi kusta atau menekan kasusnya di bawah 1 per 1.000 penduduk. Kemudian dari 514 kabupaten di Indonesia, tercatat masih ada 98 kabupaten/kota yang belum berhasil menghadapi permasalahan kusta secara optimal.
Sebagai sebuah organisasi non-pemerintahan (LSM) yang mendorong pemberantasan kusta dan inklusi bagi orang dengan disabilitas termasuk akibat kusta, NLR Indonesia berkomitmen untuk terus melakukan upaya-upaya penghapusan stigma diskriminasi terhadap orang yang mengidap kusta.
dr Astri menambahkan bahwa NLR pernah melakukan survei kepada tenaga kesehatan tentang kesediaan mereka untuk berinteraksi dengan OYMPK. Hasilnya pun sangat menyedihkan, dimana sebagian besar diantara responden mau merawat OYMPK namun tidak mau berinteraksi dengan OYMPK. Lebih miris lagi ada yang menjawab bahwa mereka enggan menikah atau menikahkan anaknya dengan OYMPK. Maka dari itu, Stigma tentang kusta ini bener-bener harus dibasmi agar masyarakat tidak lagi berasumsi negatif dan menjauhi orang yang kena kusta dan keluarganya.
Adapun cara NLR Indonesia mengatasi stigma diskriminasi penyakit kusta ini adalah dengan melakukan sosialisasi, talkshow, workshop tentang penyakit kusta. Program-program tersebut mengandung visi agar kusta di Indonesia dapat Zero Transmisi, Zero Disabilitas, Zero Ekslusi. Tentunya, stigma diskriminasi terhadap pengidap kusta ini tidak bisa hanya dilakukan oleh NLR Indonesia saja. Kita semua berperan dalam mencegah penyakit kusta ini menyebar luas dan menghilangkan stigma negatif tentang penyakit kusta ini. Dan kembali selalu tanyakan ini: Bagaimana Jika Anak Kita Menderita Kusta?